Lahir dan di besarkan di sebuah desa di pinggiran Kabupaten
Wonogiri, sudah dekat pula dengan Samudera Hindia, menjadikan tempat tinggal
saya terasa jauh dari peradaban. Apalagi konotasi yang diberikan orang-orang di
luar sana untuk Wonogiri kadang bikin nyinyir,
sebuah daerah yang terdiri dari gugusan bukit, batu dan sulit mendapatkan air.
Lengkap sudah citra negatifnya, hehehe.
Awalnya dulu saya rada sentimen, karena faktanya tidak
begitu. Tidak semua daerah wonogiri seperti itu termasuk daerah saya. Disini
air mudah di dapat, tanahnya subur dan arealnya cukup landai. Tapi lama-lama
saya capek juga. Buat apa saya memerangi persepsi orang karena itu hak mereka.
Berkomentar adalah hak setiap orang untuk setiap hal yang dilihat. Tapi tidak
terlalu menggagas juga hak setiap orang juga. Dan saya memilih untuk tetap
bangga dengan kabupaten ini seumur hidup saya (Lebay).
Sejak SD konsep desa selalu dikontraskan dengan kota.
Seingat saya dulu wawasan tentang pedesaan diberikan di pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial kelas 3. Masyarakat desa bersifat paguyuban, nilai gotong
royong masih dijunjung tinggi. Hubungan kekeluargaan lebih rekat daripada
masyarakat kota. Ciri-ciri itu membuat saya merasa bangga sebagai orang desa.
Konsep-konsep itu pada pelaksanaannya telah saya buktikan
seiring dengan interaksi sosial yang saya lakukan. Ada satu hal yang begitu
berkesan bagi saya sampai sekarang tentang desa. Itu soal senyuman. Okelah
setiap orang bisa tersenyum. Tapi menurut saya di desa senyuman begitu dekat
dengan hati. Tulus. Berbeda dengan kota yang kadang kala menyajikan senyuman
sejuta makna, hehehe.
Di samping senyuman, saya cukup terkesan dengan budaya
gotong royong. Setiap kali ada orang punya kerja maka tetangga dengan bahu
membantu akan datang memberi bantuan sesuai dengan kemampuan seperti memasak
nasi, sayur, daging, acar, menyiapkan snack, membuat minuman yang biasanya
adalah the, cuci piring, dan masih banyak lagi.
Semua sudah ada yang mengurusi. Contoh lain ada orang meninggal. Dalam
10 menit bisa saja kabarnya mampu tersebar radius 1-3 km. Tetangga terdekat
akan membantu keluarga yang berduka untuk mengurus segala keperluan. Dan masih
banyak lagi gotong royong yang begitu indah di sini.
Setelah SMP, SMA dan kuliah semakin seringlah saya pergi
dari rumah. Kota menjadi lingkungan baru yang mesti saya pelajari dengan
seksama. Memang nilai gotong royong dan kekeluargaan tetap berlaku, tapi memang
tidak sekental di desa. Paling tidak di situ terbukalah pemikiran saya bahwa
konsep kota yang dipaparkan dalam pelajaran di IPS tidak seekstrim dan
senegatif yang terpapar di buku IPS.