1 Desember 2012

SAYA MEMANG ORANG DESA, SOOOO WAAAAT?


Lahir dan di besarkan di sebuah desa di pinggiran Kabupaten Wonogiri, sudah dekat pula dengan Samudera Hindia, menjadikan tempat tinggal saya terasa jauh dari peradaban. Apalagi konotasi yang diberikan orang-orang di luar sana untuk Wonogiri kadang bikin nyinyir, sebuah daerah yang terdiri dari gugusan bukit, batu dan sulit mendapatkan air. Lengkap sudah citra negatifnya, hehehe.

Awalnya dulu saya rada sentimen, karena faktanya tidak begitu. Tidak semua daerah wonogiri seperti itu termasuk daerah saya. Disini air mudah di dapat, tanahnya subur dan arealnya cukup landai. Tapi lama-lama saya capek juga. Buat apa saya memerangi persepsi orang karena itu hak mereka. Berkomentar adalah hak setiap orang untuk setiap hal yang dilihat. Tapi tidak terlalu menggagas juga hak setiap orang juga. Dan saya memilih untuk tetap bangga dengan kabupaten ini seumur hidup saya (Lebay).

Sejak SD konsep desa selalu dikontraskan dengan kota. Seingat saya dulu wawasan tentang pedesaan diberikan di pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelas 3. Masyarakat desa bersifat paguyuban, nilai gotong royong masih dijunjung tinggi. Hubungan kekeluargaan lebih rekat daripada masyarakat kota. Ciri-ciri itu membuat saya merasa bangga sebagai orang desa.

Konsep-konsep itu pada pelaksanaannya telah saya buktikan seiring dengan interaksi sosial yang saya lakukan. Ada satu hal yang begitu berkesan bagi saya sampai sekarang tentang desa. Itu soal senyuman. Okelah setiap orang bisa tersenyum. Tapi menurut saya di desa senyuman begitu dekat dengan hati. Tulus. Berbeda dengan kota yang kadang kala menyajikan senyuman sejuta makna, hehehe.

Di samping senyuman, saya cukup terkesan dengan budaya gotong royong. Setiap kali ada orang punya kerja maka tetangga dengan bahu membantu akan datang memberi bantuan sesuai dengan kemampuan seperti memasak nasi, sayur, daging, acar, menyiapkan snack, membuat minuman yang biasanya adalah the, cuci piring, dan masih banyak lagi.  Semua sudah ada yang mengurusi. Contoh lain ada orang meninggal. Dalam 10 menit bisa saja kabarnya mampu tersebar radius 1-3 km. Tetangga terdekat akan membantu keluarga yang berduka untuk mengurus segala keperluan. Dan masih banyak lagi gotong royong yang begitu indah di sini.

Setelah SMP, SMA dan kuliah semakin seringlah saya pergi dari rumah. Kota menjadi lingkungan baru yang mesti saya pelajari dengan seksama. Memang nilai gotong royong dan kekeluargaan tetap berlaku, tapi memang tidak sekental di desa. Paling tidak di situ terbukalah pemikiran saya bahwa konsep kota yang dipaparkan dalam pelajaran di IPS tidak seekstrim dan senegatif yang terpapar di buku IPS.

Apakah dengan kemudian saya lebih mencintai kota setelah bertahun-tahun tinggal di situ? Tentu saja tidak. Saya tetaplah orang desa dan saya bangga karena memiliki kampung halaman. Desa, kampung halaman ini laksana ibu yang selalu membuka tangannya dengan senyum hangat, ia akan menyambut si anak sewaktu-waktu ingin pulang.  Ia guru sejati tempat belajar arti hidup dalam kesederhanaan.