5 Desember 2012

Otak-Atik Makna Lampu Sign


Saya, Anda, atau kita, pastinya pernah berkendara bukan? Entah itu sebagai pengendara aktif atau pengendara pasif, kita dikenalkan dengan namanya lampu sign. Kini, lampu ini hanya menerapkan prinsip kedip-kedip barongsai: mati-nyala, mati nyala, berbeda dengan dulu. Menurut pengamatan saya, dulu lampu sign cukup heboh. Ada beberapa tipe kendaraan yang kalau reteng dinyatalan akan mengeluarkan suara. Sepeda motor keluaran Yamaha tahun 90-an banyak yang menerapkan sistem “heboh” ini contohnya Alpha, Force-1, Sigma. Suara “tit tit tit” yang cukup keras itu kira-kira dapat di dengar dari radius 50 meter-an. Alih-alih pengendara lain, orang-orang yang berada di dalam rumah yang berdekatan dengan jalan itu pasti akan tahu juga kalau ada sepeda motor yang akan belok hanya dengan mendengar bunyi itu.

Lampu yang menurut orang Solo dan sekitarnya lebih “beken” disebut dengan istilah “reteng” ini bisa dibilang menjadi salah satu komponen penting kendaraan bermotor. Lampu sign dianggap penting karena ia berfungsi sebagai pelempar sinyal bahwa kendaraan akan bergerak ke kanan atau ke kiri. Terlambat atau lupa menyalakannyan di jalan kecil mungkin bukan menjadi persoalan serius, tapi jika hal itu terjadi di jalan raya tentunya sangat berbahaya bagi kendaraan- kendaraan sekitar. Tak jarang di jalan raya saya mendengar seorang pengendara berteriak geram atau menekan klakson lama sekali kepada pengendara di depan ada yang nyelonong belok tanpa menyalakan reteng.

Begitu lama saya memaknai dan meyakini bahwa lampu sign sama dengan belok: lampu sign kanan artinya belok kanan dan lampu sign kiri artinya belok kiri. Belakangan makna itu mulai terkikis. Ternyata pengertian lampu sign tak sesederhana itu. Menurut reka-reka suka-suka saya paling tidak masih ada sekitar 3 pengertian lampu sign lainnya.

Pertama, dalam kondisi saya berada di belakang sebuah atau serentetan kendaraan di jalur yang sama, sering kali saya mendapati kondisi kendaraan di depan saya menyalakan reteng, sekian detik ke kanan, sekian detik ke kiri. Dengan pemikiran a la konvensional saya berpikir bahwa kendaraan itu mau mendahului lewat sebelah kanan atau kiri. Lama saya tunggu kenapa dia gak cepat “nyalib” ya. Banting setir ke kanan atau ke kiri ternyata depannya blong. Memanfaatkan peluang saya pun tancap gas dan mendahuluinya. Lagi-lagi dengan pemikiran konvensional daya mikir “ini kendaraan wagu, bikin bingung yang belakang”. Sekali dua kali saya menemui kondisi ini saya jadi mikir, bisa jadi lampu sign itu artinya memang bukan “awas euy, aku mau banting kanan atau kiri” tapi ternyata “hei you yang di belakang ayo cepet salip aku, aku mau santai, udah kamu duluan”.

Pada kondisi lain, dari arah berlawanan ada kendaraan yang menyalakan reteng kanannya waktu saya mau mendahului kendaraan di depan saya. Kalau reteng yang ini kira-kira artinya sih “awas, awas, jangan nyalib, ta tubruk lho kalo nekat nyalib”.

Dan kasus yang terakhir, di depan kita ada kendaraan yang lampu sign-nya gak mati-mati. Lagi- lagi dengan pemikiran konvensional saya berusaha sabar menunggu di belakang, mencoba memberi kesempatan kalau dia mau memotong jalan. Tapi kok lama sekali ya gak belok-belok padahal dari arah berlawanan sebenarnya blong. Nah ini dia yang paling menyebalkan, lampu sign lama menyala tanpa adanya bergerakan berarti, bisa jadi karena si pengendara lupa tidak mematikan lampu signnya, hehehe.

Mungkin di jalan raya masih ada makna-makna lampu sign lainnya yang terbaru yang luput dari pengamatan saya. Pada prinsipnya lampu sign penting saudara-sadara. Jangan lupa kalau akan melakukan pergerakan kendaraan kita nyalakan lampu sign, selain demi keselamatan kita sendiri, kita juga memastikan kendaraan-kendaraan di sekitar kita selamat pula.

3 Desember 2012

HELLO GOODBYE: Ada awal pasti ada akhir, nikmati saja setiap detiknya


Akhirnya saya kesampaian juga nonton film Hello Goodbye. Kenapa saya begitu bernafsu nonton film besutan Titien Wattimena itu? Pertama karena saya sudah penasaran berbulan-bulan setelah salah seorang teman saya yang cukup tau soal film merekomendasikan film ini sebagai film wajib tonton. Kedua, ada Rio Dewanto yang oke doke, hohoho

Alkisah suatu hari seorang staf kedutaan besar RI di Busan Korea bernama Endah (diperankan Atiqah Hasiholan) mendapat tugas menemani duta besar ke pelabuhan Busan. Ternyata ada seorang anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia yang mengalami serangan jantung dan mesti di rawat di rumah sakit setempat. Perawatan ABK tersebut otomatis menjadi tanggung jawab dari KBRI dan disitulah perkenalan antara Endah dan Abimanyu (diperankan Rio Dewanto) dimulai karena secara khusus Endah lah yang diserahi tanggung jawab untuk memantau perkembangan Abi selama dirawat.

Endah digambarkan sebagai sosok introvert. Hidupnya dijejali dengan rutinitas-rutinitas yang membuatnya bosan sendiri. Ia gemar membaca buku-buku motivasi, mengutip quote dari orang-orang terkenal, rajin menulis target, tujuan dan semua hal yang ia anggap penting dalam sebuah notes. Ia juga memiliki kebiasaan menempel target, tujuan dan quote itu di meja kerjanya. Oh ya, ada satu lagi penggambaran dirinya sebagai sosok introvert yaitu soal kebiasaannya memakai baju gelap.

Tugas baru Endah untuk menjaga Abi begitu menguras energinya.. Abi begitu temperamen, tidak mau makan dan minum obat. Beberapa kali mereka beradu argumen bahkan dengan kasar Abi pernah melempar obatnya dan memukul Endah. Sempat ia hendak mengundurkan diri dan meminta tugas tersebut digantikan oleh staf KBRI lain, tapi diurungkannya sendiri. Sekalipun lebih banyak tegangnya, tetapi ada pula adegan di rumah sakit yang sukses membuat tertawa, itu soal Abi yang tidak tahu bahasa Korea dan perawat yang tidak paham bahasa Indonesia, hehehe.

Perlahan, hubungan Endah dan Abi menjadi lebih baik. Sesekali mereka bertukar cerita mulai dari hal remeh temeh, keluarga hingga cita-cita. Tak jarang Endah mengajak Abi menghirup udara luar dengan kursi roda. Salah satu dialog yang saya suka adalah saat Endah membaca buku mengenai cara menggapai tujuan hidup dimana Abi kemudian meminta tolong untuk di ambilkan paspornya. Abi berkomentar, “Daripada bukumu itu aku lebih tertarik dengan pasporku yang kecil ini. Dia sudah membawaku ke berbagai tempat.”. Cukup menohok memang, tapi memang benar adanya. Rencana, tujuan tidak akan membawa kita kemana-mana tanpa adanya langkah nyata.

Banyak dialog yang menurut saya cukup bagus mengenai pemaknaan proses hidup.  Seperti yang diucapkan Endah pada Abi di taman sewaktu mereka bersitegang mengenai rencana kepulangan Abi, “Menyesali perpisahan sama saja mengutuk pertemuan”. Saya menginterpretasikan percakapan itu sebagai pesan untuk lagi-lagi menikmati proses. 

Seiring dengan kesembuhannya, Abi dalam waktu dekat akan dipulangkan ke Indonesia. Pada awalnya kepulangan Abi secepat mungkin memang diharapkan oleh Endah. Tetapi di detik-detik akhir saat harapannya itu akan terwujud justru ia merasa sedih. Kenapa? Klasik. Soal cinta, cieciecieee, hehe. Dimulai dari benci, ternyata perlahan tetapi pasti Endah dan Abi saling jatuh cinta. Tapi Abi memang harus pulang. Kepulangan Abi sempat membuat saya berpikir ini cerita bakal sad ending. Lampu bioskop pun dinyalakan saat credit title keluar.

Tet teretetet, ternyata pada ketipu, hahaha, Ternyata masih ada lanjutannya sekian menit. Dengan rona aura yang lebih positif sosok Endah muncul, berjalan dan menyusuri jalanan khas Korea, tiba-tiba pandangannya tertarik oleh sosok laki-laki yang duduk seorang diri di taman dengan sebatang rokok dihisapnya tanpa asap mengepul. Yeyeye, dia Abi, dia kembali ke Korea untuk menemui Endah. Jadi, gak jadi sad ending sodara-sodara.

Dari segi bahasa saya senang film ini menggunakan bahasa Indonesia meski disisipi pula dengan penggunaan bahasa Korea untuk dialog dengan penduduk setempat. Saya kurang sepakat dengan film Indonesia (aktor & aktrisnya orang Indonesia) tapi pakai bahasa Inggris seperti yang terjadi pada film Modus Anomali. Dari segi cerita Modus Anomali bagus, pemeran utamanya Rio Dewanto juga, tapi jadi kurang oke karena pakai bahasa Inggris dengan aksen yang aneh, khas Asia. Dalam film Hello Goodbye ini saya memuji kemampuan bahasa Korea Atiqah yang cukup bagus.

Soal pemilihan lokasi, awalnya saya berpikir ini ngepasin momen banget deh. Korea dipilih sebagai lokasi karena di dunia dan Indonesia sendiri tengah demam Korea. Tapi ternyata gak ngasal juga kok. Busan yang merupakan kota pelabuhan pas menjadi latar cerita yang banyak menggunakan analogi “perlautan” khususnya keluar dari mulut Abi yang merupakan ABK.
Oh iya, saya juga suka soundtracknya yang dinyanyikan oleh penyanyi Korea bernama Eru ft. Atiqah. Dengan scoring khas a la korea, lagu berjudul Black glasses itu begitu syahdu. Ternyata suara Atiqah bagus juga.

Dalam berbagai aspek itu saya seperti menemukan bayangan cermin diri saya  dalam sosok Endah. Sekali lagi Endah nya lho bukan Atiqah nya, saya cukup sadar diri kok, hahaha. Rasanya senang menemukan karakter saya dimainkan dalam sebuah film (GR). Saya pikir melalui film ini saya seperti sedang diajak keluar dari diri saya, melihat diri saya dalam jarak tertentu, mencari apa yang baik dan tidak baik, untuk kedepannya berusaha menjadi lebih baik. Begitu kurang lebih. Sekian.

1 Desember 2012

SAYA MEMANG ORANG DESA, SOOOO WAAAAT?


Lahir dan di besarkan di sebuah desa di pinggiran Kabupaten Wonogiri, sudah dekat pula dengan Samudera Hindia, menjadikan tempat tinggal saya terasa jauh dari peradaban. Apalagi konotasi yang diberikan orang-orang di luar sana untuk Wonogiri kadang bikin nyinyir, sebuah daerah yang terdiri dari gugusan bukit, batu dan sulit mendapatkan air. Lengkap sudah citra negatifnya, hehehe.

Awalnya dulu saya rada sentimen, karena faktanya tidak begitu. Tidak semua daerah wonogiri seperti itu termasuk daerah saya. Disini air mudah di dapat, tanahnya subur dan arealnya cukup landai. Tapi lama-lama saya capek juga. Buat apa saya memerangi persepsi orang karena itu hak mereka. Berkomentar adalah hak setiap orang untuk setiap hal yang dilihat. Tapi tidak terlalu menggagas juga hak setiap orang juga. Dan saya memilih untuk tetap bangga dengan kabupaten ini seumur hidup saya (Lebay).

Sejak SD konsep desa selalu dikontraskan dengan kota. Seingat saya dulu wawasan tentang pedesaan diberikan di pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelas 3. Masyarakat desa bersifat paguyuban, nilai gotong royong masih dijunjung tinggi. Hubungan kekeluargaan lebih rekat daripada masyarakat kota. Ciri-ciri itu membuat saya merasa bangga sebagai orang desa.

Konsep-konsep itu pada pelaksanaannya telah saya buktikan seiring dengan interaksi sosial yang saya lakukan. Ada satu hal yang begitu berkesan bagi saya sampai sekarang tentang desa. Itu soal senyuman. Okelah setiap orang bisa tersenyum. Tapi menurut saya di desa senyuman begitu dekat dengan hati. Tulus. Berbeda dengan kota yang kadang kala menyajikan senyuman sejuta makna, hehehe.

Di samping senyuman, saya cukup terkesan dengan budaya gotong royong. Setiap kali ada orang punya kerja maka tetangga dengan bahu membantu akan datang memberi bantuan sesuai dengan kemampuan seperti memasak nasi, sayur, daging, acar, menyiapkan snack, membuat minuman yang biasanya adalah the, cuci piring, dan masih banyak lagi.  Semua sudah ada yang mengurusi. Contoh lain ada orang meninggal. Dalam 10 menit bisa saja kabarnya mampu tersebar radius 1-3 km. Tetangga terdekat akan membantu keluarga yang berduka untuk mengurus segala keperluan. Dan masih banyak lagi gotong royong yang begitu indah di sini.

Setelah SMP, SMA dan kuliah semakin seringlah saya pergi dari rumah. Kota menjadi lingkungan baru yang mesti saya pelajari dengan seksama. Memang nilai gotong royong dan kekeluargaan tetap berlaku, tapi memang tidak sekental di desa. Paling tidak di situ terbukalah pemikiran saya bahwa konsep kota yang dipaparkan dalam pelajaran di IPS tidak seekstrim dan senegatif yang terpapar di buku IPS.

Apakah dengan kemudian saya lebih mencintai kota setelah bertahun-tahun tinggal di situ? Tentu saja tidak. Saya tetaplah orang desa dan saya bangga karena memiliki kampung halaman. Desa, kampung halaman ini laksana ibu yang selalu membuka tangannya dengan senyum hangat, ia akan menyambut si anak sewaktu-waktu ingin pulang.  Ia guru sejati tempat belajar arti hidup dalam kesederhanaan.

30 November 2012

MASA SD DAN SEGUDANG CITA-CITA


Beberapa bulan terakhir setelah tidak kost saya punya kesempatan untuk kembali mengamati jalan raya lebih lama daripada waktu masih kost. Secara, rumah saya tepat berada di pinggir jalan raya antar kabupaten bahkan juga antar provinsi. Ada satu pemandangan menarik yang rutin setiap pagi dapat kunikmati gratis dari pukul setengah tujuh sampai dengan pukul tujuh. Apa itu? Berduyun-duyunnya adek-adek siswa sekolah dasar di dekat rumah yang pada berangkat. Ada yang diantar orangtuanya, ada yang berangkat bersama teman-temannya dan ada pula yang berangkat sendirian. Semoga dia sendirian bukan karena tidak punya teman. Yang pasti saya senang melihat mereka bisa sekolah. Miris rasanya melihat anak-anak yang berada dijalanan, semestinya mereka belajar dan bermain tetapi dia terpaksa “dikarbit” untuk mencari uang di kerasnya jalanan.

Sosok anak berseragam SD mungkin tampak semua biasa saja, tapi menurut ada hal menarik yang dapat diselami dengan sejenak mengamati mereka. Ya, kita dapat bercermin. Dari mereka saya dapat bernostalgia membayangkan diri saya sekian tahun silam saat masih seperti mereka. Berangkat ke sekolah pada saat itu tidak saya tampik sering pula dihampiri rasa malas. Malas sama pelajaran IPA, malas ketemu teman yang lagi berseteru, malas karena ada agenda cabut-cabut rumput halaman, dan sepertinya masih ada alasan-alasan lain di balik rasa malas selama enam tahun duduk di bangku SD.

Namun saya pun ingat bahwa masa-masa itu dihiasi pula oleh momen tak terlupakan yang menjadi tonggak apa yang terjadi dengan diri saat ini. Kalau tidak salah sih kelas 1, saat masih awal-awal, bu guru tak henti-hentinya bertanya. Apa cita-citamu? Setiap kali mendapat pertanyaan itu setiap waktu itu pula jawaban saya berbeda. Mungkin bahasa bekennya sekarang saya labil, inkonsisten, atau ngasal aja. Namanya juga anak-anak. Hehe. Tapi menurut saya bukan labilnya yang perlu dicermati, saya pikir-pikir setelah saya besar saya tidak ngasal kok. Setiap cita-cita yang terlintas semua didasari oleh panggilan hati walaupun kadang suka tak rasional.

Seingat saya cita-cita pertama saya adalah pengen jadi polwan. Kenapa? Karena bapak seorang polisi dan saya pengen menjadi seperti bapak. Cita-cita kedua adalah menjadi pengacara, seingat saya itu didasari setelah membaca buku pintar milik kakak yang memiliki ulasan seputar shio berdasarkan tanggal lahir dimana di dalamnya ada profesi-profesi yang dianggap cocok. Bosan dengan pengacara saya beralih pada cita-cita ingin menjadi dokter. Jangan pikir karena saya ingin menyembuhkan orang sakit, bukan, bukan. Saya tertarik menjadi dokter karena pengen punya parabola seperti yang lazim nangkring di atap rumah para dokter. Logika salah kaprah saya saat itu adalah: setiap dokter memiliki parabola, maka semua dokter pasti bisa punya parabola, hehehe. Materialisme banget sih, hehe, tapi dulu memang sangat sulit bagi pengguna antenna UHF untuk dapat menangkap siaran televisi swasta yang oke-oke itu. Hiburan sehari-hari hanya TPI (sekarang MNCTV) dari pukul 08.00 WIB sampai pukul 14.00 WIB, kemudian di sambung dengan TVRI stasiun Yogyakarta mulai pukul 15.00 WIB. Jadi jangan tanya gimana itu Doraemon, Sailormoon, Ultramen, Satria Baja Hitam, semua terasa seperti dongeng yang melayang-layang di atas kepala. Sepertinya masih ada beberapa cita-cita seperti pengen jadi pramugari, guru, diplomat, arsitek, mungkin juga jadi wartawan. Tapi semua itu berlalu begitu saja. The top three lah yang paling berkesan dalam benak saya.

Dari situ saya merasa bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang begitu luar biasa, dia masih jauh dari dunia “nyata”. Dia bebas berimajinasi sesuka hari, merancang masa depan dengan proses mengamati, dan mempersepsi hal-hal yang ia temui. Setiap mimpi sangat berharga karena secara natural setiap anak akan terstimuli untuk mengamati, mencari tahu, terus berpikir dan menuju pada kecerdasan. Saya senang pernah mengalami fase itu. Jika pun saya tidak akan bisa mewujudkan setiap cita-cita itu toh dulu saya pernah puas berkhayal seakan-akan menjadi seperti yang saya cita-citakan. Tapi kalo boleh sok jadi motivator buat adek-adek, ayo, ayo yang rajin belajar ya, jangan sungkan juga buat bercita-cita dan bermimpi setinggi langit. Cita-cita itu doa. Kata mister Walt Disney, “If you can dream it, you can do it” dan kata mbak Agnes Monica, “Dream, Believe, Make it Happen”. Selamat menikmati dunia kanak-kanak:)

29 November 2012

Sebuah refleksi dari Film “Confession Shopaholic”

Pasca memutuskan untuk bercerai dengan blog ke sekian-sekian, kini saya memutuskan untuk kembali rujuk dengan blogspot, blog pertama dalam hidup saya. Setelah mencari-cari, ada tulisan yang sekiranya tak salah untuk dipindah ke blogspot. Dan tereteteeet, terpilihlah beberapa tulisan, salah satunya tulisan ini. Nde se set....

Sambil sarapan, aku iseng memutar film berjudul “Confession Shopaholic” bergenre komedi percintaan. Weekend kemarin sempat iseng nge-play, tapi tidak kulanjutkan karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, tak begitu ingat apa pekerjaannya. Yah, dan pagi ini aku sangat senang setelah selesai menontonnya. Mungkin ini sebuah bahan refleksi yang jika “terpaksa” dikaitkan dengan pengalamanku akan menjadi sangat terkait.

Film yang aku copy seminggu lalu dari tetangga kostku bernama Diah ini diproduksi oleh Disney dengan setting industri komunikasi di Amerika Serikat. Ini adalah film soal perempuan yang dikaitan dengan fesyen dan kecantikan. Bright, Beautiful, Behaviour, 3B. Semboyan ajang kontes kecantikan dari tingkat desa sampai sejagad raya menjadikan ketiga point itu untuk mengukur perempuan. Bukan hal yang perlu dipertanyakan mengapa perempuan diukur dengan 3B, karena semua orang baik laki-laki dan perempuan meyakini hal itu. Keyakinan itu untuk sebagian besar perempuan telah menggerakkannya untuk menjadi 3B walau terkadang harus menyakitkan. 3B adalah keyakinan massa yang telah menjadi pemakluman dan rasa-rasanya semua itu hanya untuk memenuhi keinginan laki-laki semata.

Film ini pun menyuguhkan hal itu. Si tokoh utama bernama Rebecca Bloomward digambarkan sebagai perempuan yang berkulit putih, berambut ikal pirang sedada yang selalu diurai mengembang, bertubuh mungil dan langsing, energic, menarik, dan yang menjadi sesuai dengan ide ceritanya adalah gila belanja. Dia gila belanja untuk penampilannya, dia gila belanja untuk memenuhi hasratnya untuk memiliki penampilan terbaik hasil fantasinya lantaran merek-merek terkenal membalut tubuhnya. Yah, scene per scene menunjukkan bagaimana perempuan lah yang lebih banyak “gila belanja” dari laki-laki. Mulai dari sepatu, dress, jaket, tas hingga selendang menjadi pemantik mata untuk kemudian menggerakkan kaki untuk memegang dan membelinya. “Mendapatkan hal baru adalah kebahagiaan yang tak terkira dan menjadi sebuah candu. Saat pengaruhnya mulai menurun ada sebuah dorongan untuk melakukannya lagi”. Shopaholic sindrom.

Dalam hal ini perempuan distereotypekan sebagai makhluk pesolek dan boros. Di lain pihak, sosok laki-laki muncul sebagai sosok superhero yang membantu meluruskan jalan dengan sebuah kalimat yang kurang lebih artinya: tak penting apa yang melekat di tubuhku, apa merknya, berapa harganya dan juga termasuk siapa keluargaku, seberapa mereka kaya, seberapa mereka terhormat. Aku lebih bahagia karena menjadi diriku sendiri karena setiap mencapaianku sendiri. Dalam hal ini Brandon-jurnalis Dayton- telah memikatku. Menyoal jurnalis, hemmm, sampai saat ini pekerjaan itu memang masih menjadi impianku. Mungkin karena itulah aku menyukai film ini yang memakai setting pekerjaan media sebagai latar cerita. Ini adalah sebuah film yang menyuguhkan pesan moral tentang bertapa berharganya sebuah kejujuran dan pengendalian diri karena kepuasan duniawi tak akan pernah abadi. Satu-satunya sumber kebahagiaan sejati adalah kebenaran, yang dalam hal ini begitu jelas digambarkan dalam sikap jujur. Kebohongan hanya akan membuat hidup menderita: kehilangan teman, pacar, pekerjaan dan sebagainya. Jujur membuat manusia menjadi percaya diri karena memang tak ada yang disembunyikan, dan percaya diri membuat seseorang menjadi dirinya sendiri. Itulah sumber kebahagiaan sejati.

Di samping itu, film ini menyuguhkan suatu kondisi real tentang sebuah proses hidup, mustahil kita tahu kebenaran tanpa kita tahu kesalahan. Seringkali takut berbuat salah muncul saat akan berkata, bersikap dan sebagainya. Tapi tanpa kita sadari kesalahan sebenarnya hal yang sangat wajar untuk setiap manusia karena manusia itu tercipta tak sempurna. Sering kali dalam kotbah-kotbah keagamaan, apapun agamanya selalu diingatkan oleh sang pengkotbah, manusia adalah tempat salah dan khilaf. Maka dari itulah kesalahan adalah hal yang lumrah, justru dari kesalahan itu ita bisa tahu bagaimana yang benar. Dari film ini aku belajar bagaimana untuk bangun dari setiap keterpurukan. Meminjam kata bijak yang diutarakan oleh Mario Teguh dalam salah satu programnya di sebuah stasiun swasta, menyesal tidak akan mengembalikan keadaan menjadi lebih baik, yang bisa kita lakukan dari masa lalu adalah ambil hikmahnya dan fokuslah untuk saat ini untuk membuat kenangan yang jauh lebih baik di hari depan. So great. I wanna try to this, always.

Ada satu pesan yang kutangkap lagi yaitu soal keluarga. Ini adalah hal yang seringklai masih dijadikan sebagai kambing hitam. Kita menjadi pemalu karena merasa semasa kecil dikatain “pemalu”, kita tidak bisa menyanyi karena merasa tidak didukung orangtua karena semasa kecil dikatain “suaramu jelek”. Dan seterusnya. Dalam film ini, ada sebuah dendam pada masa lalu yang menjadi daya dorong untuk menjadi fashionista lantaran semasa kecil merasa dikekang hanya bisa memakai pakaian yang kolot. Yah, sebuah energy yang berasal dari marah ternyata memang efektif menggerakkan diri untuk berbuat sesuatu. Tapi ternyata ketidakbaikan memang memiliki masa berlaku yang sangat terbatas. Suatu saat energy itu akan habis dan kita ditinggalkan dalam kondisi yang tak baik pula. Dalam kemarahan pada masa lalu, dalam kemarahan pada keluarga, keluarga akan tetap menjadi muara dari perjalanan hidup manusia. Saat diluar banyak orang mencibir, keluarga akan tetap memberikan cinta. So, alangkah indahnya saat kita mencintai keluarga lebih dari apa pun. Soal “kata ta enak” waktu kecil maafkan, mungkin itu memang cara terbaik yang mereka ketahui untuk mengarahkan kita menjadi lebih baik. Love your family:)

19 Oktober 2009

Sulitnya Mencari Secuil Tempat yang Benar-Benar Aman

Ini hanya tulisan iseng belaka, berangkat dari rasa risih saat mengikuti misa di sebuah gereja di Solo.
Saat penerimaan komuni, dimana aku duduk di bagian depan, aku pun kebagian jatah menerima hosti lebih awal. Dengan demikian, setelah doa setelah komuni memungkinkan aku untuk mengapati umat yang berjajar antre menerima hosti.
Yang menarik perhatianku adalah, satu dua bahkan puluhan ibu-ibu maju membawa serta tas digantung di bahunya. Seketika juga aku berpikir, ini ibu kog ya berlebihan banget di gereja yang dipikir adalah uang atau entah barang berharga apa yang ada di dalam tasnya. Sudah hilangkan hakikat beribadah yaitu kesucian hati dan pikiran untuk menghadap Tuhan sesaat dari penatnya aktivitas duniawi?
Sepertinya memang sudah tak ada tempat aman di dunia ini.
Sungguh mengenaskan sekali.
Ya Tuhan, sebegitu akutkah krisis kepercayaan di dunia ini?

7 Mei 2009

SAATNYA INDONESIA BELAJAR LEGOWO

Pemilu legislatif 2009 telah berlalu hampir satu bulan, tetapi hingga kini penghitungan suara belum mencapai hasil final. Beberapa lembaga survei telah mengumumkan hasil penghitungan cepat mereka (quick count) dengan menempatkan partai-partai secara berurutan sebagai pemenang pemilu 2009. Namun quick count hanyalah wacana, hasil pemilu yag sesungguhnya tetaplah penghitungan manual yang kini sedang diproses oleh Komisi Pemilihan Umum(KPU) untuk segera diumumkan sebagai kepastian.

Banyak faktor yang menjadi penyebab kelambanan pemilu kali ini, dari sudut pandang sistem, pemilu dengan sistem langsung kali ini terbilang pemilu yang paling “ribet”. Maklumlah sistem multi partai dengan partai yang berubah-ubah belum lagi penghitungannya cukup menyita waktu dan tenaga. Acung jempol untuk para anggota Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di daerah-daerah yang berperan dalam proses baik pra, pelaksanaan maupun paska pemilu.

Selama penghitungan suara, selama itu pulalah semua mata dan telinga berusaha untuk selalu tahu perkembangan yang terjadi, apalagi bagi mereka yang berkepentingan secara politis terhadap hasil pemilu. Bagi partai besar yang masuk ranking sepuluh besar, kini posisi mereka terbilang aman. Namun bagi partai-partai “gurem”, rasa-rasanya mereka harus siap mundur secara perlahan tetapi pasti dari arena percaturan politik Indonesia. Sambil menunggu kepastian hasil pemilu dari KPU, kini saatnya Negara ini membuktikan diri sebagai Negara demokrasi yang sesungguhnya, yaitu menjunjung tinggi nilai sportivitas.

Bicara tentang sportivitas, sepertinya Negara ini perlu dipertanyakan sportivitasnya. Belum lagi hasil penghitungan suara selesai, setiap hari di media massa baik cetak maupun elektronik tak pernah absen dari pemberitaan adanya aksi protes terhadap pemilu oleh para simpatisan partai bahkan oleh para calon legislatif. Dengan catatan, biasanya aksi tersebut dilakukan oleh pihak yang kalah dalam perarungan.

Ujung-ujungnya aksi-aksi konyol mulai dari menyegelan kantor KPU, aksi buka baju bahkan sampai tindak anarkisme adalah menuntut diadakannya pemilihan ulang. Pertanyaanya, sesungguhnya untuk apa pemilu diadakan? Untuk memperbaharui kondisi Negara agar lebih baik ataukah hanya sekedar ajang permainan yang semata-mata mengedepankan kemenangan saja?

Kemenangan adalah motivasi bagi siapa pun saat mengikuti kompetisi bahkan bisa dipastikan kemenangan adalah tujuan. Pemilu adalah sebentuk kompetisi sesaat untuk menghasilkan siapa yang berhak secara sportif memimpin. Apabila pemilu telah usai, maka sportivitas itu sudah layak dan sepantasnya untuk dijunjung tinggi dan kembali pada kebersamaan untuk membangun bangsa dan Negara untuk hal yang lebih baik.

Dimanakah Hakikat Demokrasi Pancasila kita?
Masalah sportivitas berkaitan erat dengan demokrasi. Negara Indonesia yang mengukuhkan diri sebagai Negara demokrasi lambat laun semakin terpuruk dalam krisis kepercayaan yang tak berujung. Setiap orang berjalan dengan akusentrisnya, ingin menjadi yang terdepan dengan motif mencari untung sediri. Bahkan dunia olahraga yang menjadi ruang untuk sportif terkadang dicoreng dengan aksi-aksi brutal para bonek, atau bahkan pemain yang kalah merasa tidak terima dan ujung-ujung memboikot.
Menilik konteks bahasanya, demokrasi berasal dari kata demos dan kratein yang berarti pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Masuk dalam falsafah bangsa Indonesia maka kita mengenalnya sebagai demokrasi Pancasila dengan asas kekeluargaan dan musyawarah, mengandung prinsip persamaan, keseimbangan, kebebasan yang pertanggungjawab, keadilan sosial, musyawarah mufakat, persatuan dan menjunjung tinggi cita-cita nasional.

Pemilihan langsung memang menunjukkan pelaksanaan demokrasi yang sesungguhnya dimana aspek partisipasi masyarakat untuk memilih penyambung aspirasiya terpenuhi. Minimal sebelum menjatuhkan pilihan pada satu nama, seseorang pernah mengalami tahap tahu bahkan sampai mengenal siapa orang yang menjadi wakilnya.

Namun yang menjadi catatan untuk ke depan semoga sistem pemilu lebih disederhanakan sehingga tidak menimbulkan kebingungan masyarakat. Semakin tinggi angka kesadaran poitik masyarakat maka semakin sehatlah iklim perpolitikan kita. Belajar dari Amerika Serikat, saat pemilu Barack Obama dan Hilary Clinton bernah bersaing mati-matian untuk memperebutkan posisi calon presiden dari Partai Demokrat. Saat rakyat sudah menentukan bukan saatnya persaingan dilanjutkan, mereka kini kompak dalam pemerintahan.

Saran untuk bangsa Indonesia, rasanya ada pilihan yang lebih mulia dari sekedar saling menjatuhkan yaitu saling bekerja sama dalam membangun Negara. Semoga mereka yang kalah bersikap legowo dan menjauhkan diri dari sikap kekanak-kanakan, dan bagi yang menang mau merangkul untuk tetap menjalin silaturohmi yang baik.