29 November 2012

Sebuah refleksi dari Film “Confession Shopaholic”

Pasca memutuskan untuk bercerai dengan blog ke sekian-sekian, kini saya memutuskan untuk kembali rujuk dengan blogspot, blog pertama dalam hidup saya. Setelah mencari-cari, ada tulisan yang sekiranya tak salah untuk dipindah ke blogspot. Dan tereteteeet, terpilihlah beberapa tulisan, salah satunya tulisan ini. Nde se set....

Sambil sarapan, aku iseng memutar film berjudul “Confession Shopaholic” bergenre komedi percintaan. Weekend kemarin sempat iseng nge-play, tapi tidak kulanjutkan karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, tak begitu ingat apa pekerjaannya. Yah, dan pagi ini aku sangat senang setelah selesai menontonnya. Mungkin ini sebuah bahan refleksi yang jika “terpaksa” dikaitkan dengan pengalamanku akan menjadi sangat terkait.

Film yang aku copy seminggu lalu dari tetangga kostku bernama Diah ini diproduksi oleh Disney dengan setting industri komunikasi di Amerika Serikat. Ini adalah film soal perempuan yang dikaitan dengan fesyen dan kecantikan. Bright, Beautiful, Behaviour, 3B. Semboyan ajang kontes kecantikan dari tingkat desa sampai sejagad raya menjadikan ketiga point itu untuk mengukur perempuan. Bukan hal yang perlu dipertanyakan mengapa perempuan diukur dengan 3B, karena semua orang baik laki-laki dan perempuan meyakini hal itu. Keyakinan itu untuk sebagian besar perempuan telah menggerakkannya untuk menjadi 3B walau terkadang harus menyakitkan. 3B adalah keyakinan massa yang telah menjadi pemakluman dan rasa-rasanya semua itu hanya untuk memenuhi keinginan laki-laki semata.

Film ini pun menyuguhkan hal itu. Si tokoh utama bernama Rebecca Bloomward digambarkan sebagai perempuan yang berkulit putih, berambut ikal pirang sedada yang selalu diurai mengembang, bertubuh mungil dan langsing, energic, menarik, dan yang menjadi sesuai dengan ide ceritanya adalah gila belanja. Dia gila belanja untuk penampilannya, dia gila belanja untuk memenuhi hasratnya untuk memiliki penampilan terbaik hasil fantasinya lantaran merek-merek terkenal membalut tubuhnya. Yah, scene per scene menunjukkan bagaimana perempuan lah yang lebih banyak “gila belanja” dari laki-laki. Mulai dari sepatu, dress, jaket, tas hingga selendang menjadi pemantik mata untuk kemudian menggerakkan kaki untuk memegang dan membelinya. “Mendapatkan hal baru adalah kebahagiaan yang tak terkira dan menjadi sebuah candu. Saat pengaruhnya mulai menurun ada sebuah dorongan untuk melakukannya lagi”. Shopaholic sindrom.

Dalam hal ini perempuan distereotypekan sebagai makhluk pesolek dan boros. Di lain pihak, sosok laki-laki muncul sebagai sosok superhero yang membantu meluruskan jalan dengan sebuah kalimat yang kurang lebih artinya: tak penting apa yang melekat di tubuhku, apa merknya, berapa harganya dan juga termasuk siapa keluargaku, seberapa mereka kaya, seberapa mereka terhormat. Aku lebih bahagia karena menjadi diriku sendiri karena setiap mencapaianku sendiri. Dalam hal ini Brandon-jurnalis Dayton- telah memikatku. Menyoal jurnalis, hemmm, sampai saat ini pekerjaan itu memang masih menjadi impianku. Mungkin karena itulah aku menyukai film ini yang memakai setting pekerjaan media sebagai latar cerita. Ini adalah sebuah film yang menyuguhkan pesan moral tentang bertapa berharganya sebuah kejujuran dan pengendalian diri karena kepuasan duniawi tak akan pernah abadi. Satu-satunya sumber kebahagiaan sejati adalah kebenaran, yang dalam hal ini begitu jelas digambarkan dalam sikap jujur. Kebohongan hanya akan membuat hidup menderita: kehilangan teman, pacar, pekerjaan dan sebagainya. Jujur membuat manusia menjadi percaya diri karena memang tak ada yang disembunyikan, dan percaya diri membuat seseorang menjadi dirinya sendiri. Itulah sumber kebahagiaan sejati.

Di samping itu, film ini menyuguhkan suatu kondisi real tentang sebuah proses hidup, mustahil kita tahu kebenaran tanpa kita tahu kesalahan. Seringkali takut berbuat salah muncul saat akan berkata, bersikap dan sebagainya. Tapi tanpa kita sadari kesalahan sebenarnya hal yang sangat wajar untuk setiap manusia karena manusia itu tercipta tak sempurna. Sering kali dalam kotbah-kotbah keagamaan, apapun agamanya selalu diingatkan oleh sang pengkotbah, manusia adalah tempat salah dan khilaf. Maka dari itulah kesalahan adalah hal yang lumrah, justru dari kesalahan itu ita bisa tahu bagaimana yang benar. Dari film ini aku belajar bagaimana untuk bangun dari setiap keterpurukan. Meminjam kata bijak yang diutarakan oleh Mario Teguh dalam salah satu programnya di sebuah stasiun swasta, menyesal tidak akan mengembalikan keadaan menjadi lebih baik, yang bisa kita lakukan dari masa lalu adalah ambil hikmahnya dan fokuslah untuk saat ini untuk membuat kenangan yang jauh lebih baik di hari depan. So great. I wanna try to this, always.

Ada satu pesan yang kutangkap lagi yaitu soal keluarga. Ini adalah hal yang seringklai masih dijadikan sebagai kambing hitam. Kita menjadi pemalu karena merasa semasa kecil dikatain “pemalu”, kita tidak bisa menyanyi karena merasa tidak didukung orangtua karena semasa kecil dikatain “suaramu jelek”. Dan seterusnya. Dalam film ini, ada sebuah dendam pada masa lalu yang menjadi daya dorong untuk menjadi fashionista lantaran semasa kecil merasa dikekang hanya bisa memakai pakaian yang kolot. Yah, sebuah energy yang berasal dari marah ternyata memang efektif menggerakkan diri untuk berbuat sesuatu. Tapi ternyata ketidakbaikan memang memiliki masa berlaku yang sangat terbatas. Suatu saat energy itu akan habis dan kita ditinggalkan dalam kondisi yang tak baik pula. Dalam kemarahan pada masa lalu, dalam kemarahan pada keluarga, keluarga akan tetap menjadi muara dari perjalanan hidup manusia. Saat diluar banyak orang mencibir, keluarga akan tetap memberikan cinta. So, alangkah indahnya saat kita mencintai keluarga lebih dari apa pun. Soal “kata ta enak” waktu kecil maafkan, mungkin itu memang cara terbaik yang mereka ketahui untuk mengarahkan kita menjadi lebih baik. Love your family:)