Beberapa bulan terakhir setelah tidak kost saya punya
kesempatan untuk kembali mengamati jalan raya lebih lama daripada waktu masih
kost. Secara, rumah saya tepat berada di pinggir jalan raya antar kabupaten
bahkan juga antar provinsi. Ada satu pemandangan menarik yang rutin setiap pagi
dapat kunikmati gratis dari pukul setengah tujuh sampai dengan pukul tujuh. Apa
itu? Berduyun-duyunnya adek-adek siswa sekolah dasar di dekat rumah yang pada
berangkat. Ada yang diantar orangtuanya, ada yang berangkat bersama
teman-temannya dan ada pula yang berangkat sendirian. Semoga dia sendirian
bukan karena tidak punya teman. Yang pasti saya senang melihat mereka bisa
sekolah. Miris rasanya melihat anak-anak yang berada dijalanan, semestinya
mereka belajar dan bermain tetapi dia terpaksa “dikarbit” untuk mencari uang di
kerasnya jalanan.
Sosok anak berseragam SD mungkin tampak semua biasa saja,
tapi menurut ada hal menarik yang dapat diselami dengan sejenak mengamati
mereka. Ya, kita dapat bercermin. Dari mereka saya dapat bernostalgia
membayangkan diri saya sekian tahun silam saat masih seperti mereka. Berangkat
ke sekolah pada saat itu tidak saya tampik sering pula dihampiri rasa malas.
Malas sama pelajaran IPA, malas ketemu teman yang lagi berseteru, malas karena
ada agenda cabut-cabut rumput halaman, dan sepertinya masih ada alasan-alasan
lain di balik rasa malas selama enam tahun duduk di bangku SD.
Namun saya pun ingat bahwa masa-masa itu dihiasi pula oleh
momen tak terlupakan yang menjadi tonggak apa yang terjadi dengan diri saat
ini. Kalau tidak salah sih kelas 1, saat masih awal-awal, bu guru tak
henti-hentinya bertanya. Apa cita-citamu? Setiap kali mendapat pertanyaan itu
setiap waktu itu pula jawaban saya berbeda. Mungkin bahasa bekennya sekarang
saya labil, inkonsisten, atau ngasal aja. Namanya juga anak-anak. Hehe. Tapi menurut
saya bukan labilnya yang perlu dicermati, saya pikir-pikir setelah saya besar
saya tidak ngasal kok. Setiap cita-cita yang terlintas semua didasari oleh
panggilan hati walaupun kadang suka tak rasional.
Seingat saya cita-cita pertama saya adalah pengen jadi
polwan. Kenapa? Karena bapak seorang polisi dan saya pengen menjadi seperti
bapak. Cita-cita kedua adalah menjadi pengacara, seingat saya itu didasari
setelah membaca buku pintar milik kakak yang memiliki ulasan seputar shio
berdasarkan tanggal lahir dimana di dalamnya ada profesi-profesi yang dianggap
cocok. Bosan dengan pengacara saya beralih pada cita-cita ingin menjadi dokter.
Jangan pikir karena saya ingin menyembuhkan orang sakit, bukan, bukan. Saya
tertarik menjadi dokter karena pengen punya parabola seperti yang lazim
nangkring di atap rumah para dokter. Logika salah kaprah saya saat itu adalah:
setiap dokter memiliki parabola, maka semua dokter pasti bisa punya parabola,
hehehe. Materialisme banget sih, hehe, tapi dulu memang sangat sulit bagi
pengguna antenna UHF untuk dapat menangkap siaran televisi swasta yang oke-oke
itu. Hiburan sehari-hari hanya TPI (sekarang MNCTV) dari pukul 08.00 WIB sampai
pukul 14.00 WIB, kemudian di sambung dengan TVRI stasiun Yogyakarta mulai pukul
15.00 WIB. Jadi jangan tanya gimana itu Doraemon, Sailormoon, Ultramen, Satria
Baja Hitam, semua terasa seperti dongeng yang melayang-layang di atas kepala.
Sepertinya masih ada beberapa cita-cita seperti pengen jadi pramugari, guru,
diplomat, arsitek, mungkin juga jadi wartawan. Tapi semua itu berlalu begitu
saja. The top three lah yang paling
berkesan dalam benak saya.