12 April 2008

Peran Budaya, Opinion Leader dan Media Massa terhadap Sistem Komunikasi Indonesia

Kurang begitu ingat pastinya kapan, tetapi dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini, ada sebuah iklan rokok di layar kaca yang cukup menarik perhatian saya. Melihat iklan- iklan sebelumnya, terbaca bahwa segmentase produk disasarkan pada kelas masyarakat yang berjiwa muda, kritis dan kreatif. Tema iklannya begitu khas berupa kritik sosial terhadap kondisi yang terjadi di Indonesia pada umumnya antara lain mengenai budaya tidak tepat waktu atau jam karet, birokrasi yang berbelit- belit, korupsi dan masih banyak lagi. Iklan yang satu kali ini mengambil setting sebuah perjalanan wisata yang dilakukan oleh pasangan- pasangan suami istri ke Candi Borobudur dalam sebuah bus. Bersama dengan rombongan itu terdapat seorang sopir-laki-laki paruh baya- dan seorang pemandu wisata-perempuan yang masih muda-.

Dua kondisi yang menarik yaitu; Pertama, saat pemandu wisata memaparkan sejarah Candi Borobudur, tak satu pun wisatawan yang meggubrisnya. Telah dicoba berkali- kali tetapi hasilnya tetap nihil. Babak kedua, si pemandu wisata mempunyai ide untuk bertukar posisi dengan pak sopir. Namun yang memaparkan wawawsan wisata tetap si pemandu karena ia menyetir sambil bercerita, hanya saja secara “kelihatan” pak sopirlah yang berbicara. Lalu apa yang terjadi? Ternyata kehadiran pak sopir paruh baya itu justru mendapat perhatian. Jika informasi yang disampaikan pada dasarnya sama -dengan ilustrasi sumber informasi yang sama-, lalu hal apakah yang menjadikan berbeda antara mulut pak sopir dan si pemandu wisata?

Ilustrasi iklan itu tentunya tidak dapat kita artikan secara mentah- mentah karena dalam kondisi sebenarnya akan janggal sekali terjadi. Namun, apabila kita cermati lebih dalam ada setidaknya dua point yang patut kita kritisi yaitu faktor usia dan gender. Sadar tidak sadar, itulah fakta di negara ini, bahwa faktor usia dan jenis kelamin yang secara khusus diarahkan pada generasi tua jika berdasarkan usia dan laki- laki jika didasarkan jenis kelamin mendapatkan prioritas paling depan. Akan menjadi urusan penting yang selalu dipertimbangkan lama sekali jika golongan berseberangan yaitu generasi muda dan kaum wanita muncul ke permukaan. Lihat saja bagaimana proses penggodogan keputusan kuota perempuan dalam keanggotaan DPR dan kelayakan wanita untuk duduk di kursi kepresidenan pada saat Megawati akan menjadi presiden wanita pertama di Republik Indonesia kala itu. Apakah kondisi ini dianggap sebagai sebuah ketidakadilan? Rasanya tidak semudah itu juga untuk menyimpulkannya.

Selama 63 tahun republik ini berdiri, selama itu jugalah piranti dasar Indonesia semakin menjadi paten dan permanen. Piranti itu terdiri atas kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya. Piranti- piranti itu bergabung menjadi satu yang disebut sistem[1]. Paten yang dimaksud adalah hal apa yang terkandung dalam sistem semakin lama semakin mengakar dan mendarah daging. Tanpa menghafal pun sudah paham dan diyakini kebenarannya. Sistem memiliki sifat yang kompleks dan terstruktur. Akan sangat sulit mengubah ssstem karena butuh waktu yang tidak sebentar dan butuh juga kesiapan untuk menghadapi konsekwensi- konsekwensi yang tak terduga. Saat kita ingin membaharui sistem sosial budaya Indonesia, tidaklah hanya dengan memperbaiki sendi budaya karena dengan mengotak- atik budaya, retakan akan merembet ke masalah ekonomi, poitik dan sebagainya. Semua elemen mau tidak mau direvitalisasi juga.

Faktor senioritas dan gender lebih dekat sebagai kajian budaya. Bahkan dalam agama pun ada aturan seputar gender hubungannya dengan hak dan kewajiban dalam ritual agama. Namun untuk selanjutnya masalah gender tidak akan terlalu dalam dibahas dalam tulisan ini. Hal yang lebih digali adalah unsur senioritas dalam kehidupan sosial masyarakat kita hubungannya dengan sistem sosial budaya Indonesia dan selanjutnya dengan Sistem Komunikasi Indonesia (SKI).

Pengaruh Budaya terhadap Sistem Komunikasi Indonesia

Indonesia adalah Negara multikultural. Rasanya sulit memberi patokan ciri apa yang menjadi kekhasan pada setiap unsur budayanya. Kekhasan yang paling bijak mungkin terletak pada kata muntikultural itu sendiri. Setiap Negara memiliki kekhasan dan multikutiral itulah yang membedakan Indonesia dengan negara lain.

Sistem sosial budaya Indonesia berhubungan dengan sistem politik, sistem komunikasi dan sistem- ssstem lainnya. Secara berurutan dari yang khusus ke umum, hubungan yang terjadi adalah sebagai berikut: sistem komunikasi menjadi bagian dari sistem sosial. Sistem komunikasi Indonesia menjadi bagian dari sistem sosial budaya Indonesia. Setiap sistem memiliki kesempatan untuk saling mempengaruhi dan dipengaruhi.

Bagaimana posisi SKI di antara sIstem yang lain? SKI itu bersifat interdisiplier, ia tidak dapat berdiri sendiri. Dalam masyarakat Indonesia, otomatis corak, bentuk, dan keragaman budaya begitu kental mempengaruhnya.

Faktor senioritas yang diilustrasikan pada contoh iklan rokok di atas menunjukkan betapa budaya begitu berpengaruh dalam pola komunikasi masyarakat. Entah kebiasaan itu berakar dari suku atau adat mana, yang jelas sekarang kondisi itulah yang terjadi, yang tua akan lebih didengar karena dipercaya sudah “kenyang makan asam garam”

Sistem Komunikasi Indonesia berdasarkan letak Geografis

Kajian budaya akan terlihat detail hubungannya dengan Sistem Komunikasi Indonesia apabila ruang lingkup dan karakternya diketahui scara jelas. Menurut geografisnya, SKI dibagi menjadi dua bagian besar yaitu siem komunikasi pedesaan dan perkotaan. Masing- masing daerah memiliki ciri khas mendasar. Sistem kmunikasi di pedesaan lebih kuat dalam menjalankan komunikasi antar personal. Sedangkan sistem komunikasi perkotaan lebih dipercayakan pada media massa. Hal itu ada hubungannya dengan unsur sosiologis.

Masyarakat pedesaan bercirikan homogen, terbingkai dalam aturan- atiuran nilai adat yang kuat dan sedikit tertutup. Keluar masuknya informasi dalam lingkungan tertumpu pada hubungan personal. Selain faktor verbal, komunikasi di pedesaan sangat tergantung pada kehadiran sosok opinion leader. Opinion leader adalah orang yang dipercaya menjadi titik tolak dan poros bagi masyarakat setempat. Wujud nyata opinion leader akan ditemui pada sosok pemuka agama seperti Ustadz, Mubaligh, Pastor maupun sosok panutan seperti guru dan sesepuh. Opinion leader begitu sentral bagi berjalannya komunikasi pedesaan. Opinion leader secara garis besar dianggap sebagai orang yang lebih tahu sebagai pihak penerjemah pesan dari luar maupun ke dalam desa.

Indonesia dengan ciri khasnya sebagai negara multietnis akan memiliki sistem komunikasi yang beraneka ragam dalam heterogenitas suku. Sekalipun teknologi komunikasi sudah berembang pesat, tetapi dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih tinggal di pedesaan, maka peran opinion leader masih sangat besar. Jika dihubungkan dengan bahsan sebelumnya maka opinion leader termasuk sebagai golongan senior. Tidak hanya terbatas berdasarkan sekup wilayah tetapi dapat berada dalam lingkungan pergaulan, agama, dsb.

Opinion Leader ada di Setiap Level Komunikasi

Komunikasi yang terbagi menjadi empat level jika diamati akan melibatkan peran opinion leader. Pada level interpersonal, sekalipun sangat terbatas pasti tetap ada yang lebih dominan. Begitu juga dalam komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa.

Pada komunikasi massa, opinion leader secara langsung akan diduduki oleh pelaku komunikasi oganisasi, demikian juga komunikasi organisasi memiliki opinion leader dari level- level dibawahnya. Hal yang mendasar yaitu bahwa opinion leader memiliki posisi yang cukup kuat untuk mempengaruhi khalayak. Kekuatan itu dapat berasal dari factor budaya, agama atau pengalaman.

Senioritas dan Teori Komunikasi

Faktor senioritas yang cukup berpengaruh di Indonesia pada umumnya dan masyarakat pedesaan pada khususnya apabila dikaji dalam teori komunikasi akan masuk pada aliran mikro khususnya effect research. Effect Research mengaalisas bagaimana efek media mampu menjangkau khalayak.

Kehadiran sosok opinion leader menunjukkan adanya keterlibatan yang kuat dari komunikasi interpersonal dalam proses komnuasi massa secara keseluruhan. Opinion leader itu sendiri merupakan individu dalam masyarakat yang menerima informasi dari media dan meneruskannya dalam kelompok asalnya.

Melalui media massa yang saai ini sudah semakin banyak berkembang dengan segementasi- segmentasi yang semakin sempit, masyarakat mulai dihadapkan pada kondisi untuk memilih. Dengan demikian arus efek media bisa langsung sampai pada audiens. Namun sekalipun demikian, adakalanya khalayak sangat tergantung pada informasi yang disampaikan oleh pihak tertentu yang dianggap berwenang. Sebagai contoh, saat kasus beberapa aliran sesat marak terjadi di Indonesia, secara legal dalam undang- undang sudah diatur ketentuan suatu aliran dikatakan sesat atau tidaknya. Resminya, aturan Negara berada di atas segalanya tetapi pada praktiknya ada hal yang dianggap paling final apabila sebuah fatwa dikeluarkan oleh Majelis Alim Ulama Indonesia (MUI). Mengapa justru yang dijadikan pedoman justru keputusan dari MUI? Hal itu kembali pada mayoritas orang Indonesia yang selain faktor geografis yang berpengaruh terhadap terbentuknya opinion leader, faktor agama juga dapat berpengaruh. Islam menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia.

Dalam ruang lingkup umat Islam, filter informasi akan kembali kepada organisasi yang menaunginya. Jadi pada kasus ini, opinion leader diduduki oleh pelaku komunikasi organisasi yang menyandang posisi mayoritas. Dari komunikasi organisasi yang dimaksud di atas sesungguhnya masih bisa diturunkan ke dalam kelas interpersonal yaitu berupa figur KH. Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan ulama- ulama lainnya.

Sebenarnya masih banyak contoh tentang adanya peran opinion leader dalam komunikasi, terlebih dalam SKI apalagi jika ditrunan dalam cakupan geografis yang lebih sempit. Garis besar dari teori Limited Effect adalah adanya tiga poros yaitu media massa, audience dan opinion leader.

Berhubung daerah- daerah di luar kota juga sedah terjamah oleh perkembangan teknologi dan informasi maka tidak menutup kemungkinan jika masyarakat sedah memliki pola konsumsi media massa, baik itu cetak maupun elektronik. Namun, pada prartiknya, apa yang disampaikan media kepada khalayak juga tak sesempurna yang didambakan. Untuk hal- hal yang laten seperti agama dan kepercayaan, peran opinion leader sangat kental nuansanya sebagai pamong yang menetralisir arus informasi.



[1] Sistem berasal adri bahasa Yunani yaitu systema yang berarti keseluruhan yang tersusun oleh sekian banyak bagian.

-Life is choice, life is process, it must go on, go on and go on-

akhirnya ngorbit juga

aku buat blog dah semingguan lebih deh...
tapi baru siap mental posting sekarang..:)
wauuu....menulis itu ternyata gampang-gampang susah yah!
kata orang, ketajaman tulisan akan bisa melebihi tajamnya mata pedang...
nah loh..yang kaya gitu-an yang pengen ta capai
semoga deh....

sedikit crita aja yah...seminggu ni aku berkutat dengan kewajiban kampus, mid semester n mid semester
semakin tambah umur ga terasa kuliah semakin bisa dinikmati
karena di komunikasi UNS semester 4 adalah semester penentuan, next semester mau ambil penjurusan apa di antara video, radio, Design grafis, PR ato Jurnalistik
semoga pilihanku besok bisa tepat lah...
minimal menuruti kata hati untuk mencapai cita-citaku kelak
sekarang sih proyekku lagi konsen buat latihan nulis

mau jadi apa aku nanti?
tunggu jam tayangnya lah..:)
hHe

-life is choice, life is process, it must go on, go on, and go on-